Kamis, 19 Februari 2015

Legenda Kota Banyuwangi


Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.

Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuanku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.

“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolak!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.




Sejarah Perjuangan

Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).
Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat18 yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.


Sumber:
e-smartschool.com yang diambil dari elexmedia
sars4world
wongsmile.blogspot.com



Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.

KUNTULAN


Apa itu Hadrah Kuntulan ?

Hadrah Kuntulan yang juga disebut kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya seni bernuansa Arab - Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal kemunculanya. Sperti halnya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada Banyuwangi seperti catatan seorang antropolog pada tahun 1926, John Scholte. Karena itulah pada mulanya pertunjukan seni ini di dominasi oleh laki-laki. Pertemuanya dengan kesenian asli banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian lainnya merubah hadrah kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas.

Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Persinggunganya dengan berbagai realitas sosial dan kebudayaan masyarakat banyuwangi membawa kesenian ini ke dalam dinamisasi yang khas dan sekaligus persoalan yang komplek.


Filosofi Burung Kuntul

Sebutan Kuntul sebagai simbol, menurut Sutedjo HN, budayawan Banyuwangi, merupakan representasi dari gaya hidup sosial yang lebih mementingkan kebersamaan, serasa dan sepenanggungan di antara sesamanya. Hal ini di ilhami dari cara hidup burung Kuntul/Bangau yang selalu memanggil teman-temannya dikala mendapatkan makanan.

Pendapat ini ditunjang kondisi pertanian yang ada di Banyuwangi. Kesuburan tanah yang terhampar memberikan kemudahan para petani dalam bercocok tanam. Sambil menunggu tanaman padi memasuki musim panen, para petani di Banyuwangi terbiasa memanjakan diri mereka dengan memainkan Angklung.

Perjalanan hidup yang sulit membangkitkan para seniman daerah merespon dalam bentuk kesenian. Maka Kuntulan sebagai perlambang dari kerukunan masyarakat memberi kesadaran baru pada seluruh masyarakat Banyuwangi agar hidup dalam kebersamaan untuk mewujudkan Banyuwangi yang senasib dan sepenanggungan tanpa ada rasa ingin menguasai tanah warisan leluhur sebagai milik individual.

Nama kesenian yang diambil dari hal-hal di sekitar kehidupan masyarakat ini juga bisa ditemukan dalam beberapa kesenian di Banyuwangi lainnya, seperti Genjer-genjer. Ketika Jepang masuk Banyuwangi, kehidupan masyarakat Banyuwangi mengalamai kekurangan pangan yang cukup parah. Banyak dari penduduk tidak bisa hidup layak seperti sebelumnya. Gambaran kesulitan ini bisa dilihat dari hasil karya seniman setempat, lagu Genjer-genjer yang muncul pada tahun 1942 karya Moh. Arif, memberikan gambaran kesulitan pangan penduduk Banyuwangi sebagai imbas pendudukan Jepang di wilayah Banyuwangi, sehingga tumbuhan Genjer yang tumbuh liar di area persawahan dan tidak menjadi perhatian penduduk, akhirnya dijadikan bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari.


Busana Dan Alat Musik

Pengaruh busana penari gandrung dapat dilihat pada beberapa bagian busana penari kuntulan bersangkutan. Hanya saja ditambahkan kerudung, baju celana tertutup serta ada pengaruh Bali didalamnya. Tangan sang penari juga ditutup kaus tangan berwarna putih, dan kakinyapun tertutup kaus kaki putih. Sekarang busananya banyak mengalami modifikasi alias ubahsuai dari busana semula yang sebenarnya serba putih seperti warna bulu burung kuntul (bangau). Terkadang ada pengaruh Bali yang tercermin dari adanya untaian bunga kamboja ditelinga pemain Kuntulan ini.

Perangkat musik kuntulan sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya sekitarnya dan tak dapat dipungkiri musik dan gerak tari Gandrung (tari rakyat setempat yang menjadi lambang Banyuwangi) juga ikut masuk. Namun irama dasarnya tetaplah sama dengan hadrah lainnya. Selain enam buah rebana sebagai alat musik utamanya (dalam kuntulan baku), ada penambahan-penambahan seperti jidor (semacam drum), beduk besar, beduk kecil, kenong, kluncing (triangle), gong, biola dan kadang keyboard (saat ini) sebagai penguat nada. Selain itu bonang Bali kadang juga dipakai dalam kesenian kuntulan ini. Serta dalam beberapa kesempatan sering ditambahkan angklung caruk sebagai pemanis, dan lagi-lagi sesuai permintaan penonton. Sedangkan irama yang digunakan menurut Rizaldi Siagian seorang pakar etnomusikologi adalah irama silang (cross rhythm) dan poly rhythm atau irama banyak sebagaimana pada gamelan Bali. Ini dimungkinkan karena letak Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali.

Kekhasan lain dalam kesenian hadrah kuntulan atau kundaran ini ialah iramanya yang mempunyai karakter keras,agresif dan menyentak bahkan saat tampil, para pemain musiknya terlihat seolah bahu membahu menciptakan nada yang dinamis dan penuh semangat sehingga wajar kalau disebut musik cadas khas Banyuwangi bahkan sesekali kita harus menutup telinga karena saking begitu keras suaranya, ditambah para pemain jidornya yang kadang seperti kesurupan saat bermain... Lagu-lagunyapun tidak selalu Islami, namun juga banyak memasukkan lagu-lagu daerah dan kadang lagu pop yang sedang populer saat ini.


Sejarah Perjuangan 
Pada masa penjajahan Belanda, Islam masuk ke Blambangan (sekarang Banyuwangi). Kedatangan Islam sarat dengan nuansa politik. Tujuan masuknya agama Islam ke Blambangan adalah untuk meredam gerakan masyarakat Blambangan yang terkenal sulit ditaklukan. Ketika Belanda berhasil merebut Blambangan, kebijakan pertama yang diberlakukan adalah mendirikan wilayah kekuasan yang bisa disetir oleh Belanda, lebih halusnya lagi dinormalisisasi dengan serangkaian aturan agama yang menguntungkan kepenguasaannya.

Hasilnya, Raden Mas Alit sebagai bupati pertama beserta para punggawa yang diangkat sekitar tahun 1770-an oleh Belanda diharuskan memeluk agama Islam. Pesan misionaris agama bisa dilacak pula pada sejarah perjalanan kesenian gandrung yang awal-awalnya ditarikan atau dimainkan oleh orang laki-laki. John Scholte, salah seorang antropolog yang pernah meneliti Banyuwangi, menjelaskan bahwa para penari Gandrung setiap saat mengelilingi desa dengan membawa buntalan tas yang dibuat sebagai tempat beras hasil panen-an. Burda, selatun, wak aji, santri molih, tombo ati, ayun-ayun dan tembang lainnya adalah tembang bernuansa agama yang dibawakan. Dengan demikian, disamping membawa misi mempersatukan kembali rakyat Blambangan, Gandrung juga digunakan sebagai alat penyampaian dakwah.

Sekitar tahun 1950 kesenian hadrah muncul. Pada awalnya, Hadrah sangat kental nuansa Islam. Instrumen musik yang mengiringinya adalah Rebana dan Kendang. Penarinya laki-laki dengan bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Sedangkan tembang yang dilantunkan adalah baid-baid Burdah.

Pada masa bersamaan arus kesenian Banyuwangi mulai bermunculan, seolah-olah bangkit kembali dari tradisi yang sudah lama diwariskan oleh leluhur, seperti Angklung, Damarwulan, dan Rengganis. Kebangkitan seni ditandai dengan berdirinya organisasi kesenian yang memberikan peluang dan tempat berapresiasi. Pada kepemimpinan presiden Soekarno, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) memberikan perhatian pada kesenian-kesenian rakyat sebagai muatan perpolitikannya. Seniman-seniman daerah yang bergabung dengan Lekra merasa mendapat angin segar. Mereka kemudian berbondong-bondong mengabadikan dirinya dengan sejumlah karya seni masing-masing dengan mengusung unsur bahasa daerah sebagai ciri khas kesenian Lekra.Kedekatan Lekra berdampingan dengan kesenian yang timbul dari masyarakat Banyuwangi tidak dibarengi oleh lembaga-lembaga kesenian lainnya. Lembaga Kesenian seperti LKN (Lembaga Kesenian Nasional), Lesbumi, dan yang lainnya tidak sekental apa yang telah dilakukan oleh para seniman Lekra. Nasionalisme kedaerahan dengan mengusung bahasa daerah sebagai unsur utama merupakan visi dari seniman Lekra, puluhan lagu berbahasa daerah diciptakan oleh para seniman untuk merespon kondisi sosial saat itu.

Hadrah yang bernuansa Islam sebagai perwujudan dari kesenian agama yang dikembangkan kalangan santri, tidak terlalu mendapat simpati dihati masyarakat, dikarenakan bahasa daerah yang saat itu menjadi sentral perubahan sosial tidak diadopsi sepenuhnya oleh kalangan santri. Faktor lain yang menyebabkan seni Hadrah kurang diminati adalah pola eksklusif kaum santri dengan penduduk di luar golongan santri.
Masa kejayaan Lekra mulai pudar menyusul terjadinya tragedi G 30/S PKI tahun 1965. Tragedi ini tak pelak berimplikasi hebat pada seniman-seniman daerah yang bergabung dalam organisasi Lekra. Setelah peristiwa G 30/S PKI tersebut ketakutan dan kebimbangan menyelimuti kehidupan mereka. Lembaga-lembaga yang bernuansa agama berada diposisi atas angin. Para aktivis seni yang keluar dari Lekra paska 1965 diinternalisasi oleh Lembaga Kesenian Nasional (LKN) untuk melanjutkan kembali apa yang pernah mereka lakukan di Lekra.

Peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba) juga membawa dampak pada kesenian daerah. Jika pada masa Orla kesenian Banyuwangi lebih menonjolkan fisinya untuk mengkritisi kondisi sosial dan menjadi milik rakyat sepenuhnya, maka yang terjadi pada masa Orba adalah sebaliknya. Setelah tahun 1970-an kesenian daerah diupayakan pada politik estetik semata. Seni kemudian lebih banyak divisualisasi dalam bentuk gerak tari. Hal ini dilakukan dengan tujuan bahwa kesenian akan mendapat medan artistiknya manakala peraga tubuh bisa dinikmati secara langsung oleh para penonton. Kecenderungan estetika kesenian daerah ini mengarahkan massa untuk selalu menikmati kesenian daerah dimana tanpa sadar masyarakat yang menghadiri kesenian tersebut telah mengadopsi dan meyakini pendidikan pembangunan yang dilancarkan oleh kebijakan Orba. Dengan demikian aparatus Negara dalam tujuannya mendisiplinkan masyarakat dengan seperangkat ideologi disusupkan pada kesenian daerah. Ironisnya pada masa ini kesenian juga mempunyai ketergantungan yang tinggi pada insentif pemerintah.


Kuntulan Saat Ini

Sejarah Hadrah memasuki babak baru pada sekitar tahun 1980-an. Kesenian ini bertransformasi pada bentuknya yang baru yang disebut sebagai Hadrah Kuntulan. Nuansa Arab - Islam yang terkandung di dalamnya berubah mengikuti alur komposisi kedaerahan, isinya pun 50-50 menyesuaikan minat dari masyarakat saat itu. Bukan hanya komposisi isi saja, aransment musikalnya juga ditambahi dengan beberapa alat lainnya. Ada gendang, bonang Bali dan kluncing (triangle) memperjelas nuansa daerah dan agama dalam unsur kesenian kuntulan.

Metamorfosis Hadrah kuntulan masih terus berlanjut. Kundaran kepanjangan dari Kuntulan yang didadar (seni Kuntulan yang diperlebar) merupakan sebutan bagi perkembangan kuntulan pada tahap selanjutnya. Sebenarnya Kundaran hanya sebuah garapan artistik untuk menyempurnakan tampilan hadrah tersebut. "Kundaran itu seperti pertunjukan Jejer Gandrung yang merupakan bagian dari pertunjukan Gandrung. Jadi, Kundaran masih bersifat perbaruan gerak dan isi dari Kuntulan saja, belum bisa dikatakan kesenian tersendiri", tutur Sayun salah satu seniman yang memprakarsai munculnya hadrah Kuntulan. Kundaran sebagai tahapan terakhir perkembangan Kuntulan, mengusung kepentingan bagaimana agar kesenian tersebut makin dinikmati dan dimiliki oleh masyarakat sekaligus memperluas kesadaran beragama yang diapresiasikan pada kepemilikan kesenian itu sendiri.

Menepis ekslusifitas terlepas dari berbagai gesekan dan kontroversi yang mengiringinya, Hadarah Kuntulan kini telah berkembang cukup luas, utamanya di Banyuwangi. "Dulu di Banyuwangi Selatan yang mayoritas masyarakatnya dari suku Jawa, hampir tidak ditemui kesenian hadrah Kuntulan, namun sekarang kondisi tersebut berbalik, wilayah seperti Gambiran dan Bango yang ditempati komunitas Jawa yang dulunya tidak memiliki kelompok kesenian tradisi, malah kemarin mendaftarkan 60 peserta pada festival tari. Songgon, daerah gunung mendaftarkan 300 peserta Kuntulan", jelas Sayun.

Hal ini juga menandakan bahwa Hadrah kuntulan telah diterima oleh masyarakat diluar masyarakat asli Banyuwangi atau Osing/Using. Memang hadrah kuntulan tidak di maksudkan sebagai kesenian eksklusif yang hanya diidentikan dengan daerah Banyuwangi atau suku Osing. Namun, diluar Banyuwangi, kesenian Hadrah Kuntulan lebih dipresepsikan hanya sebagai milik suku Osing.

Bahkan pada sebuah acara di Jakarta, Aekanu Hariyono sebagai ketua dewan pariwisata Banyuwangi, sebagaimana di ceritakanya pada suatu rapat di Dewan Kesenian Blambangan (DKB), merasa perlu menegaskan bahwa kesenian Hadrah Kuntulan yang ada di Banyuwangi tidak semata-mata milik masyarakat Osing. Hanya kebetulan yang tampil kebanyakan keturunan Osing tapi bukan Osing mainded. Hadrah Kuntulan bisa dimainkan oleh lintas agama serta lintas etnik. "Sewaktu penampilan Hadrah Kuntulan di Jakarta kemaren komposisi penari sudah lintas agama dan mereka tidak risih" , kata Aekanu.

Pada tahun 1970-an kesenian hadrah Kuntulan muncul dengan keseniannya yang baru berupa Hadrah Kuntulan Caruk, yaitu dua kelompok grup hadrah Kuntulan saling bertemu dan berunjuk kebolehan, baik bidang tari, melantunkan syi'iran, dan permainan alat musiknya. Dari seni Caruk ini, kelompok mana yang dapat mengambil perhatian massa paling banyak, maka kelompok tersebutlah pemenangnya.

Prestasi Hadrah Kuntulan telah mengharumkan Banyuwangi dan propinsi Jawa Timur. Tercatat dalam pentas kesenian nasional Hadrah Kuntulan pernah menjadi pemenang dalam lomba Festival Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta.

Kesenian hadrah Kuntulan juga sudah menancapkan kukunya di tingkat Internasional. Beberapa kali kesenian ini tampil di luar negeri. Beberapa waktu yang lalu, Hadrah Kuntulan tampil di Jepang dengan membawakan tembang rodad syi'iran, rodad tontonan dan berkolaborasi dengan Barongan.


Sumber :
roliandalas.blogspot.com
bambangpriantono.multiply.com

Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.

BARONG KEMIREN

Bagi masyarakat Using/Osing, barong adalah sebuah simbol kebersamaan. Ritual apa pun di daerah Banyuwangi hampir tidak pernah lepas dari tarian ini. Kata 'barong' berasal dari bahasa Using, bareng artinya bersama.

Sejarah Barong

Ada banyak versi tentang sejarah barong di Banyuwangi. Namun, maknanya tetap sama, " kebersamaan "

Wujud Sakral Barong 
Ada yang mengisahkan, barong bermula dari pertarungan dua bangsawan sakti dari Bali dan Blambangan. Mereka, Minak Bedewang dan Alit Sawung. Tanpa penyebab jelas, keduanya terlibat pertarungan hebat. Mereka bertarung tanpa henti hingga jangka waktu lama. Tak satu pun yang terluka. Masing-masing menggunakan wujud sakti yang mengerikan, seekor harimau besar dan burung garuda. Dua perwujudan ini bertarung dahsyat. Suaranya menggelegar persis halilintar. Meski saling serang, kedua kesatria itu tetap sama kuatnya. Hingga munculah suara aneh dari langit. Suara tanpa rupa itu mengingatkan agar menghentikan pertempuran. Keduanya diminta berdamai. Akhirnya, kedua wujud menyeramkan itu bersatu. Sejak itu, masyarakat Using memiliki wujud barong sebagai simbol kebersamaan. Diyakini, barong bisa mengusir pengaruh jahat,penyakit dan segala bahaya. Hingga kini, tarian Barong dan barong sangat disakralkan. Sebelum ditarikan, barong wajib diberi ritual khusus. Jika tidak, akan berbahaya bagi penari dan warga sekitar. Barong juga tidak sembarangan ditarikan. Ditarikan terutama untuk ider bumi atau selamatan desa. Nilai mistis barong tetap dijaga. Mereka yang berhak menari barong adalah orang pilihan alam.

Kesenian Barong Versi 1
Menurut Hasnan Singodimayan, budayawan setempat, kesenian barong Kemiren bercerita tentang gadis cantik bernama Ja'rifah, yang dijaga hewan bertubuh besar bermuka buruk--yang kemudian disebut barong--melawan penjajah. "Barong sangat setia kepada tuannya sehingga dianggap simbol kepahlawanan," tutur Hasnan.Kesenian barong Kemiren mirip kesenian barong di Bali. Kemiripan ini, menurut Hasnan, sangat wajar karena kedekatan kultur yang saling mempengaruhi dalam sejarah hubungan antara Bali dan Banyuwangi. Bedanya, secara fisik ukuran barong Bali lebih besar dan tidak punya sayap. Menurut Hasnan, ada beragam versi tentang sejarah barong Kemiren. Ada yang menyebut barong bukan kesenian asli Jawa, melainkan dari Bali. Kesenian ini dibawa dan dikembangkan warga Bali yang terpaksa bermukim di Banyuwangi karena terjadi kekacauan di Bali.

Kesenian Barong Versi 2
Versi lain menyebutkan kesenian barong berasal dari Cina, yang masuk Jawa pada zaman Majapahit. Ada kemiripan antara barong dan tari Singa Cina, yang berkembang pada zaman Dinasti Tang pada abad VII-X.

Kesenian Barong Kemiren
Barong Kemiren adalah kesenian asli dari Desa Kemiren,Glagah. Salah seorang budayawan asli Kemiren, Andi (45), menuturkan barong Kemiren hasil ciptaan asli warga Kemiren kuno. Namanya, Sanimah abad ke-16. Barong kuno itu bentuknya jelek dan buruk rupa. Barong kuno itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Tompo ( Eyang Buyut Tompo/ Mbah Tompo ).

Selama penjajahan Belanda, Tompo mengungsi ke kota sambil membawa barong. Di kota, Tompo bertemu Sukip dan Win yang ahli membuat barong. Karena terkesan, Tompo yang banyak memiliki uang meminta dua ahli barong itu untuk membuatkannya. Lahirlah barong baru yang lebih bagus. Usai perjuangan perang melawan Belanda, Tompo kembali ke Kemiren sambil membawa barong barunya. Sejak itu, barong memasyarakat di Kemiren. Barong Tompo kemudian diwariskan ke Surtaman dan Samsuri. Dari sinilah kesenian Barong tumbuh hingga sekarang.

Lain lagi halnya menurut penuturan Sucipto tentang barong Kemiren, pada sekitar tahun 1647 Mbah Tompo bermimpi diminta membuat barong. Bersama temannya, Mbah Soeb, keduanya melaksanakan perintah dalam mimpi itu. "Anehnya, ketika membuat barong, tangan mereka seperti ada yang menggerakkan. Jadilah bentuk barong seperti barong yang dikenal sekarang," tutur Ketua Barong Tresno Budoyo ini. Barong yang dibuat Mbah Tompo dan Soeb inilah yang terus dipakai sampai sekarang. Diperkirakan usia barong sekitar 361 tahun. Meski usianya sudah berabad-abad, fisik barong tetap utuh. Barong ini harus disimpan oleh keturunan Mbah Tompo, yang sekarang sudah sampai pada generasi keempat. Konon saat itu ada cerita lain lagi, di desa Kemiren ada pertunjukan Seblang yang dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan Eyang Buyut Tompo agar pementasan seblang dipindah ke desa Ole-Olean ( Olehsari ), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada ketentuan yang harus dipegang teguh oleh masyarakat, yakni masyarakat Desa Kemiren tidak diperkenankan mementaskan seblang, dan sebaliknya masyarakat Olehsari tidak boleh mementaskan barong. Seni Barong yang diciptakan BuyutTompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh karenanya setiap pementasan, yakni tatkala barong mengalami kesurupan yang masuk/merasuki adalah Eyang Buyut Cili.


Tari Barong Di beberapa Prosesi Ritual Di Kemiren

Pada awalnya, seni ini merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan hanya pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat upacara bersih desa yangdiselenggarakan pada minggu pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya. Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus mengandung ciri khas Using, baik yang menyangkut musik, tari, dialog, maupun ceritanya

Tari Barong biasanya diiringi beberapa gamelan khas, seperti kendang, kecrek, gong dan ketuk. Sekilas, gamelan Barong mirip Kuda Lumping dan Reog Ponorogo. Bedanya, Barong tidak menggunakan terompet. Personal Barong 12 orang, terdiri atas dua penari Barong, dua penari berbentuk ayam. Barong ditarikan dua orang, di kepala dan di bagian ekor. Gending pengiring Barong sarat petuah kehidupan. Musiknya rancak seperti orang bertarung sebagai simbol kebersamaan. Ada sekitar 20 jenis gending pengiring Barong. Di antaranya, kembang jeruk, prejengan dan kopyahan. Dalam sekali tarian membutuhakan waktu sekitar 2 jam. Tari Barong diakhiri tari Ayam Bertarung, simbol suasana kemenangan.

Dalam Pesta Perkawinan
Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat setempat menanggap barong Kemiren dalam hajat apa pun. Dengan menanggap barong, sang pengantin berharap rumah tangganya selalu bahagia dan mendapat banyak keberuntungan. Masyarakat Kemiren pun menjadikan acara ini sebagai hiburan yang tak pernah lekang.
Saat prosesi biasanya barisan macan-macanan berada di depan barong, di belakang barong, sepasang pengantin duduk di atas kereta kuda. Iring-iringan diarak berkeliling desa dan berakhir di rumah sang pengantin. Tontonan ini disebut arak-arakan Barong Kemiren, yang ditanggap dalam hajat perkawinan tradisional di desa yang berjarak 6 kilometer dari Kota Banyuwangi itu..

Barong Kemiren bisa juga ditanggap semalaman suntuk. Dengan tiga tahap cerita, barong dimainkan . Barong Kemiren tak sekadar menjadi kesenian yang ditanggap untuk menghibur. Oleh warga desa, yang sebagian besar petani, barong sangat disakralkan karena dipercaya memiliki kekuatan magis arwah nenek moyang.

Upacara Bersih Desa
Pemangku adat Desa Kemiren, Serad, bercerita, barong dipakai dalam upacara bersih desa, yang dilakukan setiap setiap tanggal 2 Syawal atau Lebaran ( idul Fitri ) kedua, yang disebut upacara Idher Bumi. Barong dengan tabuhan gamelan mengelilingi desa dan ditutup dengan makan bersama di sepanjang jalan desa.
Dalam acara Ider Bumi ada empat jenis tarian Barong yang ditampilkan dan mempunyai cerita sendiri-sendiri. Keempat jenis Barong tersebut adalah Barong Tua, Barong Remaja, Barong anak-anak dan Barongsai. Keempat jenis Barong adalah sebagai lambang generasi-generasi yang menghuni desa Kemiren. Diikutkannya Barongsai dalam acara tersebut karena di desa Kemiren yang terkenal dengan Kampung Using ternyata ada etnik lain yang menghuninya, yaitu Tionghoa.

Acara serupa dilaksanakan setiap tanggal 1 bulan Haji dengan membuat seribu tumpeng atau dikenal dengan selamatan "Tumpeng Sewu". "Ritual ini sebagai ucapan syukur masyarakat karena diberikan rejeki berlebih," Serad menambahkan. Barong sebagai sarana ritual kesuburan tampak pada makanan yang disajikan, yakni makanan hasil bumi, seperti nasi tumpeng dan sayur, jajan pasar, pala kependhem, pala gumandhul, dan pala kesimpar. Selain Ritual ini dilaksanakan untuk menghormati danyang desa Kemiren agar kemakmuran desa tetap terjaga dan terjauhkan dari bencana.

Tersebutlah riwayat 20 tahun lalu. Upacara ini pernah ditinggalkan karena hujan lebat. Beberapa hari kemudian, istri salah satu ahli waris barong kesurupan. Ia berteriak-teriak marah karena Idher Bumi tidak digelar. Tidak lama kemudian, bayi wanita itu meninggal. "Kami takut kalau sampai ritual Idher Bumi tidak digelar," kata Serad.

Kesakralan Barong juga dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit. Obat diambilkan dari kemenyan yang dibakar di bawah tubuh barong, lalu dilarutkan dalam air, yang dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit, mulai buta hingga sakit perut.mulai pukul 21.00 sampai 06.00 keesokan harinya.



Barong Dan Regenerasi

Adalah Sucipto, 45 tahun, lelaki kelahiran Banyuwangi itu, tengah berupaya melakukan regenerasi agar kesenian itu tak punah. Melihat pemain kesenian barong yang kian uzur usianya, membuatnya resah. Tanpa menghilangkan keasliannya, ia mempermudah pakem kesenian itu agar bisa memancing minat kalangan muda. "Saya tidak mau berkutat pada pakem. Saya bikin tarian-tarian dan cerita sendiri yang lebih mudah dihafal anak muda. Waktu bermainnya saya singkat menjadi satu setengah jam saja," kata Sucipto, yang sudah bermain barong sejak anak-anak. Dari tiga tahap cerita pada barong, Sucipto meringkasnya menjadi satu tahap saja. Isi cerita lebih bermuatan pesan moral, mengajak orang saling menghormati dan tidak mengambil hak orang lain. Benar saja. Lebih dari 50 remaja Desa Kemiren menawarkan diri bermain barong. Sucipto memilih 36 orang. Pada 21 Mei 2007, terbentuklah Barong Lancing ( perjaka ) atau Barong Sapujagat, yang anggotanya berasal dari remaja usia SMP dan SMA. Ia juga membentuk Barong Cilik dari kalangan TK dan SD. Semua peralatan disesuaikan dengan kemampuan anak-anak ini. "Saya orang Kemiren. Kalau bukan saya, siapa yang mau peduli meneruskan barong Kemiren?" tutur Ketua Barong Cagar Budoyo Kemiren ini. Ternyata upaya Sucipto mendapat apresiasi masyarakat. Terbukti beberapa waktu yang lalu, pernah Barong Lancing diundang Gubernur Jawa Timur Imam Utomo menggelar pentas dalam sebuah acara di Surabaya.

Upaya melestarikan Kesenian Barong di Banyuwangi makin ditingkatkan dengan diadakannya Festival Tari Barong untuk kategori kelompok dewasa maupun Anak-anak dengan penilaian kreasi gending dan kreasi seni barong yang ditampilkan.

Sebelumnya di Kabupaten Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong kurang lebih berjumlah empat kelompok, yaitu kelompok Seni Barong Kemiren,Mandalikan, Mangli, dan Jambersari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya kelompok seni Barong Kemiren saja yang masih utuh "keUsingannya" dan sering melakukan pementasan. Akhirnya Barong Kemiren menjadi tarian khas Banyuwangi, bahkan salah satu ikon pariwisata tanah Blambangan. Barong Kemiren pernah pentas di Osaka, Jepang, dalam festival tradisional dunia.



Sumber :
ikaningtyas
www.east-java.com
www.LareOsing.org
www.bpsnt-jogja.info
www.brangwetan.com 
ajenkmoe.multiply.com
 
kupu-kupu.otodidak.info

www.cybertokoh.com by arixs


Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.

ANGKLUNG CARUK


Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia, terbuat dari batang pohon bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan ( bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu ) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar. 



Sejarah Angklung

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung Gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Bahkan di Cirebon, terdapat Angklung Bungko yang dibuat Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, 600 tahun yang lalu.


Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung dan calung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung ( bambu berwarna hitam ) dan awi temen ( bambu berwarna putih ). Purwa rupa alat musik angklung dan calung mirip sama; tiap nada ( laras ) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan ( batangan ) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar, dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras ( nada ) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro/ slendro dan pelog.

Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri/ Nyai Sri Pohaci turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur, serta upaya nyinglar ( tolak bala ) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Perenungan masyarakat Sunda dalam mengolah pertanian ( tatanen ) terutama di sawah dan huma dahulu, telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung dan calung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing ( tari ) yang ritmis ( ber-wirahma ) dengan pola dan aturan- aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi saat mengarak padi ke lumbung, juga pada saat-saat mengawali menanam padi ( di Jawa Barat disebut ngaseuk ). Biasanya tradisi/ kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran.

Keterangan sejarah tertua mengenai angklung adalah dipergunakannya waditra ( alat ) ini sebagai musik perang Kerajaan Sunda dalam kancah Perang Bubat tahun 1357. Selama perang terjadi, angklung menyebar hingga ke Jawa Timur. Dikisahkan dalam Negarakertagama, saat Hayam Wuruk berkunjung ke Jawa Timur tahun 1359, ia disambut alunan angklung yang dimainkan rakyat. Angklung lalu menyebar ke Banyuwangi, terlihat dengan adanya angklung caruk, hingga ke Bali, dengan adanya cumang kirang, alat musik logam yang identik dengan angklung.

Pada abad ke-17, Sultan Ageng yang mencintai kesenian, kerap menggelar kesenian angklung di Keraton Banten. Para pemainnya berasal dari Banten dan Bali. Pada masa ini, angklung menyebar hingga ke Kalimantan dan Sumatra. Saat Belanda menyerang Banten, Sultan Ageng mengerahkan rakyatnya untuk melawan. Untuk membakar semangat juang, angklung digunakan sebagai musik perang. Lagu perang yang terkenal berjudul Balagajur. Sayang, perlawanan itu dipatahkan dan Banten takluk pada Belanda. Sejak itu, angklung dilarang dimainkan karena suaranya yang dimainkan bersama-sama dinilai sakral dan dapat membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Pada tahun 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Perkembangan mengagumkan alat musik angklung sendiri ( baik bentuk ataupun nadanya ), sampai saat ini tidak lepas dari jasa Daeng Soetigna , Udjo Ngalagena, Obby A.R. Melalui tokoh-tokoh inilah, alat musik angklung lebih dikembangkan dan akhirnya bisa dikenal oleh hampir di seluruh dunia.


Angklung Di Banyuwangi

Tahun 1942, masa penjajah Jepang masuk Indonesia, saat itu di Banyuwangi, tembang using ( lagu Banyuwangi ) memasuki babak baru. Muncul kreasi baru, yakni munculnya instrumen angklung. Sebenarnya, musik angklung sudah ada sejak zaman kerajaan Blambangan. Namun, instrumen ini lebih banyak dimainkan untuk mengiringi berbagai jenis tarian. Angklung yang digunakan mengiringi tembang using ini ditemukan Mohamad Arif, pemusik andal dari Kelurahan Temenggungan, Banyuwangi. Pada dasarnya instrumen angklung tidak jauh beda dengan gamelan gandrung. Bedanya, musik angklung ditambahi beberapa alat musik lain seperti saron, slentem, dan gong besar.

Sebagai kreasi baru, musik angklung diterima dengan baik semua kalangan masyarakat using. Hal ini ditandai munculnya beberapa tembang baru seperti " Genjer-Genjer " dan " Nandur Jagung ". Tembang-tembang ini bercerita tentang paceklik berkepanjangan di bumi Blambangan akibat kejamnya penjajahan Jepang.

Jenis - jenis kesenian angklung yang berkembang di Banyuwangi ( Angklung Daerah ) dewasa ini yaitu :
1. Angklung Paglak, pementasannya dilakukan di atas paglak ( gubuk kecil ) di tengah sawah.
2. Angklung Caruk, pementasan dua grup angklung yang dilaksanakan di atas panggung untuk menunjukkan kemampuan dan keterampilan masing-masing.
3. Angklung Tetak, pengembangan dari angklung paglak. Dilakukan perubahan bahan instrumen dan nada.
4. Angklung Dwi Laras, merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak, penggabungan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
5. Angklung Blambangan, pengembangan terakhir angklung di daerah Banyuwangi.

Beberapa gending yang biasanya dimainkan dalam angklung daerah antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, Padhang Ulan, dan sebagainya. Instrumen pengiring dalam kesenian jenis ini setidaknya terdiri dari angklung ( 2 set/unit ) saron ( 4 rancak @ 10 buah anak saron ), peking ( 2 rancak ), slenthem ( 2 rancak ), kethuk ( 2 biji ), gong ( 2 rancak ), gendang ( 2 rancak ), biola, seruling, dan terompet. Dalam seni angklung daerah diperlukan 10 orang untuk memainkan alat musik, beberapa orang penari, dan satu orang tua atau pendamping. Pada umumnya dalam 1 group angklung daerah jumlah pemainnya berkisar antara 20 - 25 orang pemain.


Angklung Caruk

Seni Angklung Caruk berasal dari jenis kesenian Legong Bali. " Caruk " dalam bahasa Using berarti " temu ". Kata dasar itu bisa diucapkan " Kecaruk " atau " Bertemu ". Kata " Angklung Caruk " artinya adalah dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu panggung, saling beradu kepandaian memainkan alat musik berlaras pelog itu, dengan iringan sejumlah tembang Banyuwangian tujuannya untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian angklung yang terbaik. Meski tidak ada aturan secara tertulis, kedua kelompok kesenian itu sejak puluhan tahun sudah memahi aturan yang menjadi kesepakatan. Sehingga, mereka tidak ada yang curang, tidak ada yang marah saat kurang mendapatkan respon atau aplaus dari penonton. Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklungritmis dari Bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik. Dalam pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang biasanya dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis-jenis tarian tersebut antara lain tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, tari kuntulan, dan tari daerah Blambangan. Instrumen musik angklung caruk terdiri dari seperangkat angklung ( dua unit angklung ), kendang ( dua buah ), slenthem ( dua buah ), saron ( dua buah ), peking ( dua buah ), kethuk ( dua buah ), dan gong ( dua buah ).

Tradisi Angklung Caruk adalah gambaran betapa tingginya apresiasi warga Banyuwangi terhadap musik daerahnya. Dalam angklung caruk itu, pertama setiap kelompok masing-masing membawakan " larasan " yang menjadi andalan dengan seorang penari pria yang disebut BADUT. Setelah selesai dan sesuai kesepakatan waktunya, maka giliran kelompok lain melakukan hal yang sama. Pada sesi berikutnya adalah Adol Gending, yaitu kelompok A misalnya, membawa intrumen beberapa ketukan dari sebuah lagu, untuk ditebak kelompok B. Apabila kelompok B sudah tahu, maka diberi kesempatan memotong dengan cara " ngosek " atau memukul gamelan secara tidak beraturan. Jika itu sudah terjadi, maka kelompok A harus menghentikan intrumennya dan memberikan kesempatan kepada kelompok B untuk meneruskan intrumen itu. Jika ternyata masih salah, maka kelompok A akan mengambil kembali dengan " ngosek " kemudian meneruskan hingga tuntas. Ini juga berlaku kepada badut, mereka juga diadu variasi tariannya dengan lagu-lagu andalan yang dimiliki kelompok. Dalam tempo cepat, baik tarian maupun pukulan instrumennya tidak boleh ada yang salah.

Itulah gambaran sedikit tentang Angklung Caruk Banyuwangi yang penuh sportivitas. Selain masing-masing membawa supporter ( pendukung ), ada juga penonton netral yang siap memberikan aplus jika memang penampilan kelompok itu bagus dan memukau. Namun bagi mereka yang kurang beruntung, caci makian dan ejekan penonton tetap diterimanya, sebagai pemicu agar terus melakukan latihan dan meningkatkan insting/ kepekaan bermusiknya.

Berdasarkan cerita para penabuh tua , dulu pentas Angklung Caruk sering melibatkan kekuatan supranatural untuk saling menjatuhkan lawan. Tetapi sekarang sudah makin positif sebab para supporter sudah sportif menghadapi kekalahan dan kemenangan. Disana juga selalu dihadirkan ahli-ahli angklung yang berwibawa. Dengan kehadiran para ahli ini maka kelompok-kelompok angklung dan supporternya tidak berani curang.

Semangat " caruk " dalam kehidupan sehari-hari, seharusnya menjadi contoh bagi Wong Using kebanyakan. Selalu mempersiapkan segala sesuatu, seperti layaknya para " panjak " angklung yang latihan setiap hari, menjelang pentas " caruk ". Sehingga, saat berlaga di panggung tidak akan mengecewakan. Jika itu semua sudah dilakukan maksimal, maka harus menerima apapun hasilnya. Cacian atau " gojlokan " penonton, bukan sebagai hinaan. Melainkan sebagai cambuk, agar usaha dan persiapan dilakukan lebih baik lagi. Kita juga harus menerima kenyataan, jika lawan caruk ( orang lain ) ternyata lebih unggul dan patut mendapatkan pernghargaan. Sakit hati dan iri terhadap kelebihan yang dimilki orang lain, bukan sikap orang Using. Bersaing boleh, tetapi harus dilakukan secara sportif. Sepeti sikap para Panjak, Badut dan penonton Angklung Caruk pada waktu mereka tampil.

Dulu di Banyuwangi ada kelompok Angklung yang terkenal, yaitu Angklung Pasinan Singojuruh, Angklung Mangir, Rogojampi dan Angklung Badas, juga Rogojampi. Apabila kedua kelompok Angklung itu dipertemukan dalam satu panggung, bisa dipastikan penontonnya membludak. Mereka kebanyakan penonton netral, tidak mewakili kelompok manapun. Namun mereka akan memberikan aplaus, apabila penampilan salah satu dari mereka yang terlibat " caruk " itu memang bagus. Cacian dan " pisuhan " khas Banyuwangi, meluncur untuk mengomentari penampilan dari peserta " caruk " yang tidak maksimal atau sering melakukan kesalahan. Namun tidak ada yang marah, apalagi bereaksi berlebihan.

Angklung Caruk Banyuwangi sering mengikuti acara dan festival budaya nasional, salah satunya mengikuti Pawai Budaya Nusantara yang diselenggarakan di Istana Merdeka yang prosesinya dari depan panggung kehormatan halaman depan Istana Merdeka ( Jalan Merdeka Utara ) menuju Jalan Medan Merdeka Barat dan berakhir di kawasan Monas.

Sumber : 
www.sunda.org

id.wikipedia.org
www.east-java.com 
www.bpsnt-jogja.info

www.angklung-udjo.co.id 
Forum Bebas Indonesia
vindisweet.blogspot.com
padangulan.wordpress.com 
angklung-web-institute.com

hasansentot2008.blogdetik.com
--- Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung ---

Tradisi Mepe Kasur, Ritual Tolak Bala Masyarakat Using Banyuwangi

SURYA Online, BANYUWANGI -Pemandangan unik terlihat di desa adat suku using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi pada setiap awal bulan dzulhijjah.
Warga Kemiren terlihat bersama-sama mengeluarkan dan menjemur kasur di depan rumah masing-masing.
Seperti pada Kamis (25/9/2014) siang. Di sepanjang jalan utama yang membelah desa, dapat terlihat puluhan kasur yang dijemur di depan rumah warga.
Yang unik, dalam tradisi mepe kasur pada masyarakat Using, Banyuwangi ini kasur-kasur tersebut mempunyai warna seragam, yakni berwarna hitam pada bagian atas dan bawah dan  merah pada setiap pinggirnya.
Adi Purwadi, Ketua Masyarakat Adat Desa Kemiren mengatakan, warna hitam dan merah punyai arti tersendiri.
Masyarakat Kemiren percaya hitam merupakan warna untuk menolak bala, sedangkan abang atau merah adalah simbol dari keabadian rumah tangga.
"Karena itu, setiap pasangan pengantin baru harus mempunyai kasur ini. Harapannya tentu terhindar dari hal buruk dan pernikahan mereka selalu diberi kebahagian," kata Purwadi.

Kearifan Lokal Banyuwangi

Banyuwangi Bagus on 26 September 2014 | 12:35 AM


Masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Kamis (25/9) menggelar tradisi Tumpeng Sewu. Tumpeng Sewu adalah ritual adat selamatan massal yang digelar di Desa Kemiren, salah satu basis Osing, masyarakat asli Banyuwangi. Tujuannya, bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberkahanan yang mereka terima.

Tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala (menghindarkan dari segala bencana dan sumber penyakit). “Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun temurun,” kata sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul.

Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur kelapa). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah.

Bentuk mengerucut ini memiliki makna khusus, yakni petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, di samping kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan alam. Sementara pecel pithik mengandung pesan moral yang bagus, yakni "ngucel-ucel barang sithik". Dapat juga diartikan mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.

Dengan diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat), Tumpeng Sewu ini menjadi sebuah ritual yang khas dan tetap sakral. Sebelum makan bersama, warga Desa Kemiren mengawalinya salat maghrib berjamaah dan doa bersama. Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.

Melengkapi tradisi Tumpeng Sewu, pada siang hari, warga desa melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) secara masal. Uniknya, semua kasur yang dijemur berwarna hitam dan merah. Warga Suku Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing agar terhindar dari segala jenis penyakit. Penjemuran kasur ini bisa ditemui di sepanjang jalan Desa Kemiren, mulai pagi hingga sore. "Juga akan digelar selamatan desa di makam Buyut Cili, leluhur desa," kata dia.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menambahkan, tradisi Tumpeng Sewu ini bagian dari upaya merawat tradisi. "Kearifan lokal yang harus terus dirawat. Kearifan lokal sejatinya menyangga dan mendukung jalannya kehidupan ini," kata Azwar Anas.
Gatra.com

Terima kasih telah membaca artikel: Tradisi Tumpeng Sewu, Merawat Kearifan Lokal Banyuwangi 

TIBAN




BANYUWANGI - Tiban merupakan ritual adat peninggalan leluhur yang hingga kini masih di laksanakan. Konon Tradisi Tiban digelar masyarakat secara turun - temurun sebagai permohonan masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat bisa di berikan musim penghujan saat musim kemarau yang panjang.

Di tengah musim kemarau panjang masyarakat menggelar Tiban di lapangan Desa Bangorejo, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi, di pimpin tokoh adat Tradisi Tiban di gelar di bawah terik matahari yang menyengat.

Di iringi gamelan tradisional para peserta Tiban bak jawara mulai beraksi, dan perang cambuk pun di mulai. Dalam adegan ini para peserta masing - masing membawa pecut (cambuk yang terbuat dari lidi aren) terlihat saling menyabetkan pecutnya ke lawan mainya.

Tarrrrr !!!! tak jarang dari beberapa peserta mengalami luka hingga berdarah akibat dari sabetan pecut, Konon adegan ini gambaran masyarakat yang menyiksa diri di bawah terik matahari guna permemohonan " Hujan Tiban " kepada Sang Maha Kuasa di tengah kemarau panjang.

Peraturan perang cambuk dalam laga ini para peserta tidak di perbolehkan mencambuk bagian kepala dan bagian bawah perut, dan jika itu terjadi maka wasit segera melerai peserta karena di anggab melanggar ketentuan yang telah di tetapkan.

"Ngak oleh mecut sirah ambi ngisore awak mas," papar Paul salah seorang peserta Tiban yang datang dari Desa Yosomulyo Kecamatan Gambiran menggunakan bahasa jawa yang artinya tidak boleh mencambuk bagian kepala dan bawah perut karena itu pelanggaran.

Peraturan lain menurutnya para peserta di beri kesempatan mencambuk lawanya sebanyak tiga kali dan menahan cambukan dari lawanya sebanyak tiga kali. " Nahan sabetan 3 kali dan mencambuk 3 kali mas." jelasnya.

Seolah tidak merasa sakit para peserta terus mengadu ketangkasanya di arena Tiban di laksanakan dan sesekali para peserta terlihat menghindari sabetan cambuk yang di sabetkan lawanya. "Jika tidak lihai memainkan pecut dan cara menghindarinya, ya kita akan terkena sabetan mas, sebenarnya sakit juga sih terkena pecut," lanjut Paul sembari menunjukan bekas sabetan pecut di bagian punggungnya.

Hebatnya lagi para peserta Tiban tidak menggunakan pelindung badan saat laga itu di gelar dan inilah yang menjadi pusat perhatian ratusan pengunjung saat Tradisi tahunan itu dilaksanakan guna meminta Hujan Tiban. (BeritaLima)